WELCOME TO MY BLOG

This is default featured post 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Tuesday, March 3, 2015

Mengenal Beliau ( Rosulullah saw )


Sifat-Sifat Nabi Muhammad SAW



Fizikal Nabi
Telah dikeluarkan oleh Ya'kub bin Sufyan Al-Faswi dari Al-Hasan bin Ali ra. katanya: Pernah aku menanyai pamanku (dari sebelah ibu) Hind bin Abu Halah, dan aku tahu baginda memang sangat pandai mensifatkan perilaku Rasulullah SAW, padahal aku ingin sekali untuk disifatkan kepadaku sesuatu dari sifat beliau yang dapat aku mencontohinya, maka dia berkata:

Adalah Rasulullah SAW itu seorang yang agung yang senantiasa diagungkan, wajahnya berseri-seri layak bulan di malam purnamanya, tingginya cukup tidak terialu ketara, juga tidak terlalu pendek, dadanya bidang, rambutnya selalu rapi antara lurus dan bergelombang, dan memanjang hingga ke tepi telinganya, lebat, warnanya hitam, dahinya luas, alisnya lentik halus terpisah di antara keduanya, yang bila baginda marah kelihatannya seperti bercantum, hidungnya mancung, kelihatan memancar cahaya ke atasnya, janggutnya lebat, kedua belah matanya hitam, kedua pipinya lembut dan halus, mulutnya tebal, giginya putih bersih dan jarang-jarang, di dadanya tumbuh bulu-bulu yang halus, tengkuknya memanjang, berbentuk sederhana, berbadan besar lagi tegap, rata antara perutnya dan dadanya, luas dadanya, lebar antara kedua bahunya, tulang belakangnya besar, kulitnya bersih, antara dadanya dan pusatnya dipenuhi oleh bulu-bulu yang halus, pada kedua teteknya dan perutnya bersih dari bulu, sedang pada kedua lengannya dan bahunya dan di atas dadanya berbulu pula, lengannya panjang, telapak tangannya lebar, halus tulangnya, jari telapak kedua tangan dan kakinya tebal berisi daging, panjang ujung jarinya, rongga telapak kakinya tidak menyentuh tanah apabila baginda berjalan, dan telapak kakinya lembut serta licin tidak ada lipatan, tinggi seolah-olah air sedang memancar daripadanya, bila diangkat kakinya diangkatnya dengan lembut (tidak seperti jalannya orang menyombongkan diri), melangkah satu-satu dan perlahan-lahan, langkahnya panjang-panjang seperti orang yang melangkah atas jurang, bila menoleh dengan semua badannya, pandangannya sering ke bumi, kelihatan baginda lebih banyak melihat ke arah bumi daripada melihat ke atas langit, jarang baginda memerhatikan sesuatu dengan terlalu lama, selalu berjalan beriringan dengan sahabat-sahabatnya, selalu memulakan salam kepada siapa yang ditemuinya.

Kebiasaan Nabi
Kataku pula: Sifatkanlah kepadaku mengenai kebiasaannya!Jawab pamanku: Adalah Rasulullah SAW itu kelihatannya seperti orang yang selalu bersedih, senantiasa banyak berfikir, tidak pernah beristirshat panjang, tidak berbicara bila tidak ada keperluan, banyak diamnya, memulakan bicara dan menghabiskannya dengan sepenuh mulutnva, kata-katanya penuh mutiara mauti manikam, satu-satu kalimatnya, tidak berlebih-lebihan atau berkurang-kurangan, lemah lembut tidak terlalu kasar atau menghina diri, senantiasa membesarkan nikmat walaupun kecil, tidak pernah mencela nikmat apa pun atau terlalu memujinya, tiada seorang dapat meredakan marahnya, apabila sesuatu dari kebenaran dihinakan sehingga dia dapat membelanya.

Dalam riwayat lain, dikatakan bahwa baginda menjadi marah kerana sesuatu urusan dunia atau apa-apa yang bertalian dengannya, tetapi apabila baginda melihat kebenaran itu dihinakan, tiada seorang yang dapat melebihi marahnya, sehingga baginda dapat membela kerananya. Baginda tidak pernah marah untuk dirinya, atau membela sesuatu untuk kepentingan dirinya, bila mengisyarat diisyaratkan dengan semua telapak tangannya, dan bila baginda merasa takjub dibalikkan telapak tangannya, dan bila berbicara dikumpulkan tangannya dengan menumpukan telapak tangannya yang kanan pada ibu jari tangan kirinya, dan bila baginda marah baginda terus berpaling dari arah yang menyebabkan ia marah, dan bila baginda gembira dipejamkan matanya, kebanyakan ketawanya ialah dengan tersenyum, dan bila baginda ketawa, baginda ketawa seperti embun yang dingin.

Berkata Al-Hasan lagi: Semua sifat-sifat ini aku simpan dalam diriku lama juga. Kemudian aku berbicara mengenainya kepada Al-Husain bin Ali, dan aku dapati ianya sudah terlebih dahulu menanyakan pamanku tentang apa yang aku tanyakan itu. Dan dia juga telah menanyakan ayahku (Ali bin Abu Thalib ra.) tentang cara keluar baginda dan masuk baginda, tentang cara duduknya, malah tentang segala sesuatu mengenai Rasulullah SAW itu.

Rumah Nabi
Berkata Al-Hasan ra. lagi: Aku juga pernah menanyakan ayahku tentang masuknya Rasulullah SAW lalu dia menjawab: Masuknya ke dalam rumahnya bila sudah diizinkan khusus baginya, dan apabila baginda berada di dalam rumahnya dibagikan masanya tiga bagian. Satu bagian khusus untuk Allah ta'ala, satu bagian untuk isteri-isterinya, dan satu bagian lagi untuk dirinya sendiri. Kemudian dijadikan bagian untuk dirinya itu terpenuh dengan urusan di antaranya dengan manusia, dihabiskan waktunya itu untuk melayani semua orang yang awam maupun yang khusus, tiada seorang pun dibedakan dari yang lain.

Di antara tabiatnya ketika melayani ummat, baginda selalu memberikan perhatiannya kepada orang-orang yang terutama untuk dididiknya, dilayani mereka menurut kelebihan diri masing-masing dalam agama. Ada yang keperluannya satu ada yang dua, dan ada yang lebih dari itu, maka baginda akan duduk dengan mereka dan melayani semua urusan mereka yang berkaitan dengan diri mereka sendiri dan kepentingan ummat secara umum, coba menunjuki mereka apa yang perlu dan memberitahu mereka apa yang patut dilakukan untuk kepentingan semua orang dengan mengingatkan pula: "Hendaklah siapa yang hadir menyampaikan kepada siapa yang tidak hadir. Jangan lupa menyampaikan kepadaku keperluan orang yang tidak dapat menyampaikannya sendiri, sebab sesiapa yang menyampaikan keperluan orang yang tidak dapat menyampaikan keperluannya sendiri kepada seorang penguasa, niscaya Allah SWT akan menetapkan kedua tumitnya di hari kiamat", tiada disebutkan di situ hanya hal-hal yang seumpama itu saja.

Baginda tidak menerima dari bicara yang lain kecuali sesuatu untuk maslahat ummatnya. Mereka datang kepadanya sebagai orang-orang yang berziarah, namun mereka tiada meninggalkan tempat melainkan dengan berisi. Dalam riwayat lain mereka tiada berpisah melainkan sesudah mengumpul banyak faedah, dan mereka keluar dari majelisnya sebagai orang yang ahli dalam hal-ihwal agamanya.

Luaran Nabi
Berkata Al-Hasan r.a. lagi: Kemudian saya bertanya tentang keadaannya di luar, dan apa yang dibuatnya? Jawabnya: Adalah Rasulullah SAW ketika di luar, senantiasa mengunci lidahnya, kecuali jika memang ada kepentingan untuk ummatnya. Baginda selalu beramah-tamah kepada mereka, dan tidak kasar dalam bicaranya. Baginda senantiasa memuliakan ketua setiap suku dan kaum dan meletakkan masing-masing di tempatnya yang layak. Kadang-kadang baginda mengingatkan orang ramai, tetapi baginda senantiasa menjaga hati mereka agar tidak dinampakkan pada mereka selain mukanya yang manis dan akhlaknya yang mulia. Baginda selalu menanyakan sahabat-sahabatnya bila mereka tidak datang, dan selalu bertanyakan berita orang ramai dan apa yang ditanggunginya. Mana yang baik dipuji dan dianjurkan, dan mana yang buruk dicela dan dicegahkan.

Baginda senantiasa bersikap pertengahan dalam segala perkara, tidak banyak membantah, tidak pernah lalai supaya mereka juga tidak suka lalai atau menyeleweng, semua perkaranya baik dan terjaga, tidak pernah meremehkan atau menyeleweng dari kebenaran, orang-orang yang senantiasa mendampinginya ialah orang-orang paling baik kelakuannya, yang dipandang utama di sampingnya, yang paling banyak dapat memberi nasihat, yang paling tinggi kedudukannya, yang paling bersedia untuk berkorban dan membantu dalam apa keadaan sekalipun.

Majlis Nabi
Berkata Al-Hasan ra. lagi: Saya lalu bertanya pula tentang majelis Nabi SAW dan bagaimana caranya ? Jawabnya: Bahwa Rasulullah SAW tidak duduk dalam sesuatu majelis, atau bangun daripadanya, melainkan baginda berzikir kepada Allah SWT baginda tidak pernah memilih tempat yang tertentu, dan melarang orang meminta ditempatkan di suatu tempat yang tertentu. Apabila baginda sampai kepada sesuatu tempat, di situlah baginda duduk sehingga selesai majelis itu dan baginda menyuruh membuat seperti itu. Bila berhadapan dengan orang ramai diberikan pandangannya kepada semua orang dengan sama rata, sehingga orang-orang yang berada di majelisnya itu merasa tiada seorang pun yang diberikan penghormatan lebih darinya. Bila ada orang yang datang kepadanya kerana sesuatu keperluan, atau sesuatu masliahat, baginda terus melayaninya dengan penuh kesabaran hinggalah orang itu bangun dan kembali.

Baginda tidak pernah menghampakan orang yang meminta daripadanya sesuatu keperluan, jika ada diberikan kepadanya, dan jika tidak ada dijawabnya dengan kata-kata yang tidak mengecewakan hatinya. Budipekertinya sangat baik, dan perilakunya sungguh bijak. Baginda dianggap semua orang seperti ayah, dan mereka dipandang di sisinya semuanya sama dalam hal kebenaran, tidak berat sebelah. Majelisnya semuanya ramah-tamah, segan-silu, sabar menunggu, amanah, tidak pemah terdengar suara yang tinggi, tidak dibuat padanya segala yang dilarangi, tidak disebut yang jijik dan buruk, semua orang sama kecuali dengan kelebihan taqwa, semuanya merendah diri, yang tua dihormati yang muda, dan yang muda dirahmati yang tua, yang perlu selalu diutamakan, yang asing selalu didahulukan.

Berkata Al-Hasan ra. lagi: Saya pun lalu menanyakan tentang kelakuan Rasulullah SAW pada orang-orang yang selalu duduk-duduk bersama-sama dengannya? Jawabnya: Adalah Rasulullah SAW selalu periang orangnya, pekertinya mudah dilayan, seialu berlemah-lembut, tidak keras atau bengis, tidak kasar atau suka berteriak-teriak, kata-katanya tidak kotor, tidak banyak bergurau atau beromong kosong segera melupakan apa yang tiada disukainya, tidak pernah mengecewakan orang yang berharap kepadanya, tidak suka menjadikan orang berputus asa. Sangat jelas dalam perilakunya tiga perkara yang berikut. Baginda tidak suka mencela orang dan memburukkannya. Baginda tidak suka mencari-cari keaiban orang dan tidak berbicara mengenai seseorang kecuali yang mendatangkan faedah dan menghasilkan pahala.

Apabila baginda berbicara, semua orang yang berada dalam majelisnya memperhatikannya dengan tekun seolah-olah burung sedang tertengger di atas kepala mereka. Bila baginda berhenti berbicara, mereka baru mula berbicara, dan bila dia berbicara pula, semua mereka berdiam seribu basa. Mereka tidak pernah bertengkar di hadapannya. Baginda tertawa bila dilihatnya mereka tertawa, dan baginda merasa takjub bila mereka merasa takjub. Baginda selalu bersabar bila didatangi orang badwi yang seringkali bersifat kasar dan suka mendesak ketika meminta sesuatu daripadanya tanpa mahu mengalah atau menunggu, sehingga terkadang para sahabatnya merasa jengkel dan kurang senang, tetapi baginda tetap menyabarkan mereka dengan berkata: "Jika kamu dapati seseorang yang perlu datang, hendaklah kamu menolongnya dan jangan menghardiknya!". Baginda juga tidak mengharapkan pujian daripada siapa yang ditolongnya, dan kalau mereka mau memujinya pun, baginda tidak menggalakkan untuk berbuat begitu. Baginda tidak pernah memotong bicara sesiapa pun sehingga orang itu habis berbicara, lalu barulah baginda berbicara, atau baginda menjauh dari tempat itu.

Diamnya Nabi
Berkata Al-Hasan r.a. lagi: Saya pun menanyakan pula tentang diamnya, bagaimana pula keadaannya? Jawabnya: Diam Rasulullah SAW bergantung kepada mempertimbangkan empat hal, yaitu: Kerana adab sopan santun, kerana berhati-hati, kerana mempertimbangkan sesuatu di antara manusia, dan kerana bertafakkur. Adapun sebab pertimbangannya ialah kerana persamaannya dalam pandangan dan pendengaran di antara manusia. Adapun tentang tafakkurnya ialah pada apa yang kekal dan yang binasa. Dan terkumpul pula dalam peribadinya sifat-sifat kesantunan dan kesabaran. Tidak ada sesuatu yang boleh menyebabkan dia menjadi marah, ataupun menjadikannya membenci. Dan terkumpul dalam peribadinya sifat berhati-hati dalam empat perkara, iaitu: Suka membuat yang baik-baik dan melaksanakannya untuk kepentingan ummat dalam hal-ehwal mereka yang berkaitan dengan dunia mahupun akhirat, agar dapat dicontohi oleh yang lain. Baginda meninggalkan yang buruk, agar dijauhi dan tidak dibuat oleh yang lain. Bersungguh-sungguh mencari jalan yang baik untuk maslahat ummatnya, dan melakukan apa yang dapat mendatangkan manfaat buat ummatnya, baik buat dunia ataupun buat akhirat.

(Nukilan Thabarani - Majma'uz-Zawa'id 8:275)

Story Of Imam

The story of Ashura and Karbala

by Abdurrahmaan Umar

Although the month of Muharram is a sacred month as a whole, the 10th of Muharram is the most sacred among all its days. The day is named ‘Aashurah’. It is one of the most important and blessed days of Allah Ta’ala in the Islamic calendar. This day has been accepted as having deep significance. Evidence of its significance has been clearly found in authentic traditions.
There are many Prophetic events of great historical importance and also events that happened after the Beloved and Final Messenger of Allah(peace be upon him) had left this world, such as the Battle of Karbala, that have taken place on this day.
The importance of the month of Muharram has been mentioned in the Qur’aan in Surah Taubah verse 36. This day of Aashura derives its importance from Prophetic Traditions. In the Ahadeeth (sayings of Rasulullah sallallaho alaihe wassallam) the following have been mentioned:
Fasting
The Prophet Muhammad (Sallallahu-Alayhi-Wasallam) has exhorted and encouraged his Ummah to fast on this day. He said:
“This fast is a compensation for the (minor) sins of the past year.” (Hadith:Muslim)
The Prophet Muhammad (PBUH), when migrated to Madinah, found that the Jews of Madinah used to fast on the 10th day of Muharram. They said that it was the day on which the Prophet Musa (Moses), alayhis salam, and his followers crossed the Red Sea miraculously and the Pharaoh was drowned in its waters. On hearing this from the Jews, the Prophet, Sall-Allahu alayhi wa sallam, said, “We are more closely related to Musa, alayhi salam, than you,” …and directed the Muslims to fast on the day of ‘Ashura’. ( Hadith-Abu Dawood)
“Observe the fast of Aashura and oppose the Jews. Fast a day before it or a day after.” (Hadith:Baihaqi)
Hence, it is important to either fast on the ninth and the tenth or the tenth and the eleventh of Muharram. To fast only on the day of Aashora is Makrooh(undesirable).
Being Generous
One should be generous on one’s family and dependants and spend more on them than what is normally spent.
Rasulullah (Sallallahu-Alayhi-Wasallam) said: “One who generously spends on his family on the day of Aashora, Allah will increase (his provision) for the whole year.” (Hadith:Baihaqi)
Historical Events
There is no doubt on the blessedness of the The Day of Aashura. Many historical events of deep significance have also been recorded on this day. Hazrat Musa (as) and his people, the Bani Israel, were saved from the Egyptian Pharaoh by the miracle of the parting of the sea on the day of Ashura. It was for this reason that the Jews used to fast on this day.
The Tragic battle of Karbala was also fought on this day. This event has many important lessons for the Ummah (Muslim Nation) especially at this point in time when the Ummah is being maliciously targeted and persecuted just because of their attachment and love for Islam – The Religion of Truth.
The battle of  Karbala
Close to the end of his life Ameer Muawiyyah bin Abu Sufyaan (RA-Radiallahu Anhu – May Allah be pleased with him) decided to appoint his son Yazid as Khalifa of the Muslims, this was an unprecedented act in the history of Islam. No ruler had prior to this appointed his son or family as successor. Several of the Sahaba (RA) were dissatisfied with this deviation from the standard established by The Messenger of Allah (Sallalahu Alaihi wasallam – Peace be upon him) and his righteous guided Khalufa.
Of the Sahaba (RA) present at that time Abdullah bin Umar, Abdullah bin Abbas and Abdur Rahmaan bin Abu Bakr (RA) opted to accept the reign of Yazid to avoid further bloodshed in the Muslim Ummah. They did not want to see the repeat of conflicts of Siffin and Jamal, which cost many Muslim lives and threw the Ummah into turmoil. Abdullah bin Zubair (RA) took refuge in Makkah and he remained the ruler of Hijaaz (Makkah, Medina and surrounding areas) for a further ten years.
The other objector to Yazid becoming the Khalifa was Husain (RA) the youngest son of Hazrat Ali (RA) and Hazrat Fatima (RA). Based on his understanding of the tenets of Islam he understood this to be a deviation from the path of his grandfather, Rasulallah (Sallalahu Alaihi wasallam). Husain (RA) escaped from Medina to Makkah when the pressures of the governor, Waleed bin Utba, intensified his efforts to compel Husain (RA) to accept Yazid as the Khalifa of the Muslim Ummah.
While in Makkah, he began receiving letters of support from Kufa – encouraging him to come to Kufa where he will find many supporters who will help him oppose Yazid. When the number of letters of support exceeded 10’000, Husain (RA) considered going to Kufa, despite the objections of the other Sahaba (RA). He sent his cousin, Muslim bin Aqeel to investigate the situation. Abdulla bin Abbas and Abdulla bin Umar (RA) tried in vain to dissuade Husain (RA) from leaving the sanctuary of Makkah and going to Kufa. Realising that he would not heed their advice, they tried to convince him to leave his family in Makkah and make the journey with a few of his companions. But Husain (RA) had committed himself to opposing this deviation from the Path of Islam; and was prepared to sacrifice his life and the lives of his family to ensure that the Sunnah (Path of Nabi Sallalahu Alaihi wasallam) is not altered. Shariah had established the rules for Mashwera (Mutual consultation) and had abolished any remnants of monarchy.
When the cousin of Hazrat Husain (RA), Muslim bin Aqeel arrived in Kufa he found tremendous support for Husain. Nearly 15’000 supporters gathered to pray with him demonstrating their backing of Husain (RA). Encouraged by this situation, Muslim bin Aqeel wrote back saying the situation was favourable and that Husain (RA) should come to Kufa. But the situation quickly deteriorated when the new governor of Kufa, Ubayd-Allah bin Ziyad took power and began persecuting the supporters of Husain eventually killing Muslim bin Aqeel on 9 Dhul-Haijjah 60AH (680 AD) without any resistance from the people of Kufa.
Husain (RA) departed for the 1100km long journey on the 8th Dhul-Hijjah to avoid any conflict in the holy city during Hajj. En-route he heard of the murder of his cousin, Muslim bin Aqeel and of his supporters deserting his cause, but decided to continue to Kufa saying these famous words:
“… The death is a certainty for mankind, just like the trace of necklace on the neck of young girls. And I am enamored of my ancestors like eagerness of Yaqoob to Yusuf (AS)… Everyone, who is going to devote his blood for our sake and is prepared to meet Allah, must depart with us…” (Lohouf, By Sayyid ibn Tawoos, Tradition No.72)
Two days outside of Kufa Husain’s group were stopped by the vanguard of Yazid’s army – Hurr bin Riyahi, who refused him to continue his journey to Kufa. Husain requested to return to Medina, but that too, was denied. Forced by the army of Hurr, Husain (RA) and his supporters camped in the barren, dry area of Karbala on the 2nd Muharram. The governor of Kufa, Ubayd-Allah bin Ziyad ordered Umar bin Sa’ad to lead the army of 5’000 strong against Husain with instructions to initiate the battle on the 6th of Muharram. With further instructions to prevent Husain from access to water despite the close proximity of the mighty Euphrates river.
On the afternoon of the 9th the army of ibn Sa’ad began advancing to attack – Husain (RA) requested them to delay for one day. That night he spent in prayer and devotion; at Fajr he gathered his men and informed them that they faced certain death and if anyone wished to leave they were free to do so. All his supporters, 32 horsemen and 40 foot-soldiers, emphatically opted to stay by his side. Hearing Husain’s emotional call to defend the family of Nabi (Sallalahu Alaihi wasallam), Hurr Al- Riyahi, the commander of one of the enemy battalions left the ranks of Yazid’s army and joined the small group of Husain.
Fearing that more people may defect to Husain Umar bin Sa’ad, commander of the army started the battle by firing an arrow saying: “Give evidence before the governor that I was the first thrower.” The army attacked with ferocity but were repulsed by the courage of Husain bin Ali (RA) followers. Despite being charged at by infantrymen these brave soldiers of Allah Ta’ala stood their ground and defended the family of Nabi (Sallalahu Alaihi wasallam).
Husain’s (RA) followers came to bid farewell to him as they plunged into the battle, sacrificing their lives in defense of the grandson of the Master, Rasulallah (Sallalahu Alaihi wasallam). Abbas bin Ali (RA) the half-brother of Husain (RA) could not tolerate the suffering of the women and children who had been without water for several days. Penetrating the enemy forces he reached the river and began filling water skins. Laden with water skins and hopelessly outnumbered he made his way back to the camp. The enemy surrounded him determined not to let this brave warrior of Islam succeed in getting water to the camp. Before he died, Abbas called out to his brother Husain (RA) asking forgiveness that he could not bring the water.
As the day drew to a close, only Husain (RA) remained from the men. Few of the enemy dared attack him, some out of the dread of attacking the grandson of Nabi (Sallalahu Alaihi wasallam) others from the fear of his ferocity. Umar bin Sa’ad, commander of Yazid’s forces ordered his men to murder the noble grandson – most were reluctant then Shimr ibn Dhiljawshan advanced to slit the throat of Husain (RA). He severed the head of this noble leader of Islam and placed it on a spear. History will always mark this day – 10th of Muharram 60AH (680AD) as the day the noble grandson of the Master Muhammad (Sallalahu Alaihi wasallam) gave his life in defense of the established Path of Islam. He would tolerate no deviation from the Shariah (Islamic legal code) or Sunnah. Leaving this world at the age of 57 he became the leader of the youth of Jannah (Paradise).
Umar bin Sa’ad ordered his men to gather all the women and children, and to set fire to the tents. The next morning the captives from the family of Nabi (Sallalahu Alaihi wasallam) were marched to Kufa and then to Damascus. In the court of Yazid bin Muawiyyah the heads were displayed and the prisoners were paraded. Zaynab bint Ali (RA) fearlessly condemned Yazid for his actions and eulogised Hazrat Husain (RA).
This is a mere recording of events from authentic Sunni sources. Allah is the Best Judge. Allah Ta’ala makes it clear:
“That was a people that hath passed away. They shall reap the fruit of what they did, and ye of what ye do! Of their merits there is no question in your case”(Qur’an-Surah Baqarah 2:141 and 2:134)
But it leaves us with the profound question: How much are we willing to sacrifice in the defense of Deen, Truth and the laws of Islam. If each of us were willing to make the sacrifice of Hazrat Husain (RA) then there would be no deviation from the True Path. The call is not only to give up our lives in preserving our religion, but to give up our desires in fulfilling the Orders of Allah Ta’ala

Sunday, March 1, 2015

Sejarah Islam


Sejarah Islam adalah sejarah agama Islam mulai turunnya wahyu pertama pada tahun 622 yang diturunkan kepada rasul yang terakhir yaitu Muhammad bin Abdullah di Gua Hira, Arab Saudi sampai dengan sekarang.

Pendahuluan

Risalah Islam dilanjutkan oleh Nabi Muhammad saw. di Jazirah Arab pada abad ke-7 ketika Nabi Muhammad s.a.w. mendapat wahyu dari Allah swt. Setelah wafatnya nabi Muhammad s.a.w. kerajaan Islam berkembang hingga Samudra Atlantik di barat dan Asia Tengah di Timur. Hingga umat Islam berpecah dan terdapat banyak kerajaan-kerajaan Islam lain yang muncul.
Namun, kemunculan kerajaan-kerajaan Islam seperti kerajaan Umayyah, Abbasiyyah, Turki Seljuk, dan Kekhalifahan Ottoman, Kemaharajaan Mughal, India,dan Kesultanan Melaka telah menjadi kerajaaan yang besar di dunia. Banyak ahli-ahli sains, ahli-ahli filsafat dan sebagainya muncul dari negeri-negeri Islam terutama pada Zaman Emas Islam. Karena banyak kerajaan Islam yang menjadikan dirinya sekolah.
Pada abad ke-18 dan ke-19, banyak kawasan-kawasan Islam jatuh ke tangan Eropa. Setelah Perang Dunia I, Kerajaan Turki Utsmani yang merupakan kerajaan Islam terakhir tumbang.

Nabi Muhammad


Nabi Muhammad saw dilahirkan di Makkah pada Tahun Gajah yaitu pada tanggal 12 Rabi'ul Awal atau pada tanggal 21 April (570 atau 571 Masehi). Nabi Muhammad merupakan seorang anak yatim sesudah ayahnya Abdullah bin Abdul Muttalib meninggal ketika ia masih dalam kandungan dan ibunya Aminah binti Wahab meninggal dunia ketika ia berusia 7 tahun. Kemudian ia diasuh oleh kakeknya Abdul Muthalib. Setelah kakeknya meninggal ia diasuh juga oleh pamannya yaitu Abu Talib. Nabi Muhammad kemudiannya menikah dengan Siti Khadijah ketika ia berusia 25 tahun. Ia pernah menjadi penggembala kambing.
Nabi Muhammad pernah diangkat menjadi hakim.pada usia 35 tahun, kota mekkah dilanda banjir, Ia tidak menyukai suasana kota Mekah yang dipenuhi dengan masyarakat yang memiliki masalah sosial yang tinggi. Selain menyembah berhala, masyarakat Mekah pada waktu itu juga mengubur bayi-bayi perempuan. Nabi Muhammad banyak menghabiskan waktunya dengan menyendiri di gua Hira untuk mencari ketenangan dan memikirkan masalah penduduk Mekah. Ketika Nabi Muhammad berusia 40 tahun, ia didatangi oleh Malaikat Jibril. Setelah itu ia mengajarkan ajaran Islam secara diam-diam kepada orang-orang terdekatnya yang dikenal sebagai "as-Sabiqun al-Awwalun(Orang-orang pertama yang memeluk agama Islam)" dan selanjutnya secara terbuka kepada seluruh penduduk Mekah, setelah turun wahyu al-quran surat al hijr ayat 94.
Pada tahun 622, Nabi Muhammad dan pengikutnya pindah dari Mekah ke Madinah. Peristiwa ini dinamai Hijrah. Semenjak peristiwa itu dimulailah Kalender Islam atau kalender Hijriyah.
Penduduk Mekah dan Madinah ikut berperang bersama Nabi Muhammad saw. dengan hasil yang baik walaupun ada di antaranya kaum Islam yang tewas. Lama kelamaan para muslimin menjadi lebih kuat, dan berhasil menaklukkan Kota Mekah. Setelah Nabi Muhammad s.a.w. wafat, seluruh Jazirah Arab di bawah penguasaan Islam.

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More